Tag Archive: perempuan


(dimuat dalam Jurnal Srinthil:Media Perempuan Multikultural Desantara Foundation edisi 021 tahun 2010, Perempuan dan Urban Sufism)

Langit mendung menggelayuti kota solo siang itu. ada keriaan anak- anak tercipta di serambi rumah yang sekilas nampak biasa seperti rumah sederhana di kota pada umumnya.tak ada cukup ruang untuk anak- anak agar dapat bermain bebas berlarian kemanapun mereka suka. hanya jalan sempit di depan rumah yang dapat mereka gunakan untuk sekedar bercanda ria dengan kawan sebaya. Tetapi, siapakah mereka sebenarnya?awalnya Srint!l tak begitu yakin ketika memutuskan menghentikan laju motor untuk bertanya pada anak- anak itu apakah benar rumah tempat mereka berada saat ini adalah pesantren khalimatussa’diyah yang konon katanya memiliki ciri khas unik yang berbeda dengan pesantren biasa.“Ayo mbak’ masuk aja ke dalam” ajak salah seorang anak dengan ramah. Setelah dipersilahkan memasuki ruang tamu, ada seorang laki- laki dan seorang perempuan yang belakangan diketahui sebagai sepasang suami istri dan setia menjadi santri umi, menyambut kedatangan kami dengan hangat dan terbuka menjawab segala pertanyaan . Meski ini adalah kala pertama kita bersua, tetapi suasana akrab terbangun seketika. Agaknya mereka sangat terbiasa menghadapi tamu dari berbagai macam kalangan yang datang tanpa mengenal waktu, baik pagi, siang, sore ataupun malam. Suguhan makanan dengan sigap disajikan. Ternyata di pesantren itu tinggal sekitar 60 orang dari bermacam umur, daerah asal dan latar belakang. Kebanyakan dari mereka memiliki kesamaan tujuan, mengkaji akhlaq dengan melepas segala identitas yang melekat pada diri masing- masing. Mereka menekankan jangan gunakan tolak ukur pesantren lain untuk menilai pesantren ini karena akan sangat berbeda. Mengapa demikian? Saat tanda tanya besar memenuhi kepala kami tiba- tiba salah satu santriwati dari pesantren itu memberitahukan bahwa umi memanggil kami ke dalam. Bagi kami hal ini merupakan kejutan karena berdasarkan informasi  sebelumnya umi yang disebut sebagai sosok sentral dalam pesantren itu sangat jarang menerima tamu yang bisa secara langsung berhadapan dengan beliau. Suatu kehormatan tersendiri bagi kami. Ketika itu di ruangan tengah ada pengajian yang sedang berlangsung yang sebagian besar diikuti oleh laki-laki. Kami diantar menuju tempat peraduan umi yang dipisahkan oleh satir (kain penutup) berwarna hitam. Dengan senyum yang mengembang di bibir beliau, seolah memberikan ucapan selamat datang pada kami.

Pembawaannya begitu tenang, air mukanya teduh menyejukkan. Adalah Umi Fauziyah Chamsi, pendiri pesantren khalimatussa’diyah yang berdomisili di Solo, Jawa Tengah. Berbeda dengan pesantren lainnya yang memiliki tempat secara permanen, pesantren khalimatussa’diyah selalu berpindah tempat. Batas maksimal kurang lebih dua tahun. Umi, demikian akrab disapa, mengemukakan alasannya bahwa pemilihan lokasi pesantren biasanya dilatarbelakangi oleh latar belakang masyarakat setempat. Seperti saat ini, di daerah Purwosari dimana terdapat sekelompok masyarakat yang cenderung menganut paham islam garis keras. Sebelumnya pesantren ini bertempat di sebuah desa wilayah Kartasura. Beliau mengatakan bahwa sebelum Pesantren Khalimatussa’diyah hadir di tengah- tengah masyarakat, para penduduk disana kurang taat dalam nenjalankan ajaran agamanya.”Alhamdulillah setelah pesantren ini ada, ibu- ibu yang tadinya banyak tidak berjilbab menjadi berjilbab dan rajin mengikuti pengajian” jelas Umi.

Melihat kenyataan hidup di zaman akhir yang selalu dikelilingi oleh berbagai piranti modern dan warna-warni pemuas. Banyaknya kebutuhan yang bertaburkan kemilaunnya fasilitas hidup yang semakin memanjakan manusia, dan memberikan nuansa hidup sangat bertentangan dengan potret ruang lingkup manusia dimasa lampau. Semua cermin gambaran hidup yang sederhana, bermodalkan peralatan dan teknik yang masih terbatas. Dan mengajak manusia untuk bergaul akrab dengan alam sehingga menciptakan sebuah tipologi budaya yang cenderung harmonis antara manusia dan sesamanya serta alam sekitarnya, dalam sebuah keselarasan interaksi. Oleh sebab itu menjadi tantanggan yang besar dan perjuangan berat untuk bisa mengibarkan keberhasilan, syiar agama dijaman modern. diperlukannya sebuah falsafah syiar yang arif dan bijak untuk bisa menyentuh han berati manusia modern yang terkandung asyik terbuai dalam tinggi rendahnya dunia. ”Berpegang pada falsafah berpenampilan ala Amerika , bekerja dan berpikir ala Jepang, hati atau akhlak tetap seperti Mekah yang menjadikan sesuatu landasan perjuangan syiar yang dipegang oleh Pesantren Khalimatussa’diyah”terang Umi penuh semangat.

Dunia beserta isinya termasuk dhohir manusia merupakan perwujudan entitas yang selalu berubah, inilah suatu keniscayaan hokum alam, yang juga kodrat dunia untuk bersifat “fana”. Inilah takdir ALLAH untuk dunia, termasuk dhohir manusia penuhilah kodrat itu dalam kendali keridhoan ALLAH SWT. Penuhilah penampilanmu yang sejaman denganmu,karena keberadaan dhohirmu menunjukan engkau hidup didunia yang fana. Inilah salah satu maksud dari istilah ”berpenampilan ala Amerika.”

Selain dhohir, manusia juga memiliki karunia serta kekuatan mengedalikan dan mendayagunakan dunia. Akal, tenaga, pontensi dan seluruh indra yang melekat pada diri manusia adalah tanda-tanda kebesaran Ilahi yang selalu menemani manusia dalam menunaikan tugas dunia, inilah nikmat karunia ilahi, sempurnakanlah rasa syukmu, bentangkanlah sayap-sayap ikhtiarmu lalu terbanglah kedalam angkasa rahmatNYA maka engkau akan saksikan tangan-tangan ALLAH untuk mencukupi kebutuhanmu. Inilah salah satu maksud dari bekerja dan berfikir ala Jepang.

Adapun ”hati tetap mekah” adalah indra batin atau hati manusia yang tetap diikatkan pada tali ALLAH, hati yang senantiasa bertawaf dzikir pada ALLAH dan akhirnya mampu memancarkan cahaya rahmat dan keridhoaNYA. Hati yang semacam ini akan selalu kuat memegang kendali pada seluruh anggota tubuh dan memimpinnya pada ketaatan dijalaNYA. Inilah yang dimaksud dengan tercapainya nikmat ALLAH yang paling hakiki, yakni hati yang jernih dan mampu menyerap cahaya Ilahi dalam diri seorang hamba. Oleh karena itu, upaya pemeliharaanya jauh lebih penting dari pada organ-organ tubuh yang lain, karena menyangkut langsung proses pengenalan hamba pada Tuhannya. Tetapi bukan berarti penjagaan yang lain tidak penting, karena mungkinkah batin seseorang itu bersih kalau ia tidak mengamalkan perbuatannya, kalau ia tidak bermanfaat bagi lingkungannya, kalau ia tidak menjaga dunianya. Melalaui perjuangan kuat memelihara batin maka seorang hamba telah menghadirkan dan mengejawantahkan sifat-sifat ALLAH dalan setiap sikap, kesadaran, perbuatan serta seluruh ruang lingkup orientasi hidupnya. Sehingga, pancaran Rahmat Ilahi tidak hanya jatuh pada ”diri” tapi mampu menyebar kuat, memancarkan manfaat dalam seluruh sendi-sendi kehidupan.

Kiprah Pesantren Khalimatussa’diyah

Pesantren Khalimatussa’diyah memiliki andil dan kiprah yang nyata untuk mencetak generasi penerus Islam sesuai dengan amanah akhlak dan tuntunan ajaran Rasulullah SAW. Bepegang pada misi memberantas krisis moral penerus bangsa khususnya Umat Islam, maka Pesantren Khalimatussa’diyah  mengantungkan nafas orentasi dan pembinaan umat pada pedoman ajaran Akhlakul Karimah Rosulullah SAW oleh karena itu berbekal pada konsistensi mejaga dan mengembalikan semangat persaudaraan muslim yang murni dan tulus, maka wadah pesantren ini tidak mau bersentuhan dengan unsur-unsur apapun dan pihak manapun yang memiliki kepentingan dan keterkaitan politik, serta kepentingan apapun yang mengkotak-katikkan kekuatan Islam dan mengancam keutuhan persaudaraan umat muslim.

Wujud implementasi dari teguhnya memegang prinsip “tanpa bendera, lepas unsur politik” telah di terjemahkan secara nyata dalam pemenuhan kebutuhan sehari hari yang dikelola dari aset sendiri secara mandiri. Dalam hal ini pondok memiliki program melatih beberapa santri untuk bercocok tanam mengolah lahan pertanian milik pondok dan diambil hasil buminya sebagai salah satu tulang punggung pemenuhan kebutuhan pokok para santri. Dengan memanfaatkan aset milik pondok secara maksimal, bisa diharapkan jaminan manejemen pengelolaan pondok dapat dipertanggungjawabkan ”kebersihannya” dari segala campur tangan kepentingan.

Meresapi nilai-nilai ajaran kasih sayang dalam ajaran Akhlakul Karimah Rasulullah SAW, maka awal pendirian wadah pesantren ini berusaha merangkul para saudara muslim yang kurang mampu, anak yatim serta anak-anak terlantar yang selanjutnya dididik dengan ilmu Ajaran Islam, pengetahuan umum serta ketrampilan yang memadai agar menjadi bekal untuk menghadapi kehidupan yang nyata di tengah-tengah masyarakat. Namun pada perkembangannya, Pesantren Khalimatussa’diyah justru didatangi santriwan dan santriwati yang komplek, seperti, para musyafir penuntut ilmu, para mahasiswa(STAIN, UNS, UMS, UNIBA, UNDIP, UTP, UNSA, STIES, pelajar, dll), masyarakat muslim khususnya di sekitar pondok, para pasien pengindap penyakit fisik maupun jiwa, serta korban pecandu narkoba serta keluarga muslim dari berbagai wilayah yang terdiri dari berbagai golongan dan status sosial.

Proses pendidikan yang sudah dijalankan semata-mata mengharapkan keikhlasan yakni tanpa dipungut biaya. Adapun sistem pengajaran yang dipilih bersifat kontektual, yakni perpaduan antara pembekalan materi-materi umum (misalnya, pelajaran-pelajaran sekolah dan wawasan umum, pembinaan bakat dan ketrampilan diberbagai bidang, pembentukan kelompok-kelompok belajar, dan lain sebagainya), dengan materi-materi pengajaran yang bersifat kaagamaan (semisal, pembentukan sistem interaksi belajar ala salaf yakni sistem sorogan, pembentukan sistem kegiatan harian yang menuju pada pembentukan kepribadian Akhlakul Karimah, pengajaran dan pengajian kitab-kitab atau materi salafiyah, pengajian dan dzikir bersama pembentukan TPA dan TPQ dan lain sebagainya).

Suatu hal yang tak kalah pentingnya adalah usaha pondok untuk melakukan pembinaan secara aktif terhadap masyarakat yang berkaitan dengan pemahaman keagamaan. Pelatihan cara memandikan jenazah merupakan salah satu contoh dari sekian usaha yang dilakukan pondok untuk meningkatkan kualitas pemahaman agama masyarakat. Dengan langkah praktis dan mudah dipahami, pondok berusaha menyebarluaskan kemampuan dalam ajaran Islam yang wajib dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat, terutama yang berhubungan langsung dengan tuntunan Islam dalam hidup bermasyarakat. Tak hanya membatasi pada hal yang Berhubungan Akherat, kiprah pondok di dalam masyarakat juga terwujud pada usaha memakmurakan dunia. Usaha untuk mempelopori pelatihan-pelatihan berbagai ketrampilan kepada masyarakat khususnya ibu-ibu ditujukan agar masyarakat mampu berdaya dan tumbuh secara mandiri. Dari proses tersebut, diharapkan secara perlahan masyarakat mampu menumbuhkan visi kesadaran umum yang tumbuh secara alamiah dalam wujud semangat keagamaan yang kokoh menompang tatanan hidup dan peningkatan kesejahteraan hidup.

Secara lebih jauh, pengenjawantahan sistem pengajaran pondok juga di integrasikan dalam wujud penanganan terapi penyembuhan terhadap pasien pengidap sakit jiwa. Sudah menjadi bagian dari pelajaran di dalam pondok, lingkungan beserta isinya merupakan sebuah media dialektis tempat para santri mempraktekan amanah melakukan proses pengabdian dan pelayanan. Bertujuan membentuk pribadi penerus Islam yang berjiwa amanah, maka penanganan terhadap penyakit jiwa memberikan sumbangsih yang berharga dalam mendidik para santri mengajarkan praktek kesabaran, kasih sayang, kepemimipinan yang berpadu dengan ketekunan. Oleh karena itu,secara garis besar penanganan terapi penyembuhan bagi para pasien sakit jiwa sangat mengutamakan prinsip kemanusiaan.

mengaji sehari-hari

Dalam pandangan pondok, para pasien sakit jiwa merupakan sosok manusia yang mengalami gangguan spiritual maupun mental sehingga menurunkan fungsi kesabaran manusianya yang normal. Oleh sebab itu, upaya untuk membantu proses kesembuhannya melibatkan berbagai aspek yang mendukung pemulihan keadaanya. Dengan memperhatikan kararteristiknya pribadi setiap pasien, secara fisik maupun mental perlahan-lahan dan alamiah para pasien dibimbing untuk membangun kesadaran diri dan lingkungannya, dilatih bersosialisasi dengan manusia normal, menerima praktek pelajaran akhlak, berbaur dan berinteraksi secara alamia tanpa mendiskriminasi posisi mereka, bermunajah dan dzikir bersama menanamkan rasa tanggungjawab menjaga pondok dan lain sebagainya. Dengan cara semacam ini maka diharapkan secara alamia akan bangkit kemauan internal pada diri pasien untuk sembuh. Dan pada taraf selanjutnya mengaktifkan organ-organ kesadaranya untuk melakukan menuju kesembuhan, maka baginya mendapat perhatian yang khusus dan kewajiban sebagaimana seorang santri yang tengah belajar agama. Kebiasaan bersosialisasi secara akrab dan alamiah dengan lingkungan pondok akan membuatnya mengalami penyegaran jiwa dan membangun dunia kesadaran baru yang membuatnya optimis menjadi manusia normal/sehat. Untuk memaksimalkan proses penyembuhan disela-sela waktu para pasien juga menerima pelatihan bakat dan ketrampilan pembinaan dari guru semua proses tersebut diupayakan agar dikemudian hari setelah pasien sembuh, mereka dapat mengambil pelajaran dari pondok sebagai bekal diri dan dapat memanfaatkan bekal ketrampilan yang diperoleh atas tuntunan dari guru dalam kehidupan bermasyarakat nanti.

Mengenal Lebih Dekat : Umi Fauziyah

Kepemimimpinan Umi atas pesantren ini adalah kepemimpinan yang karismatik (bagian dari managemen tradisional berdasarkan pada kewibawaan), jauh berbeda dengan kepemimpinan modern (berdasarkan profesionalitas dan otoritas formal). Disamping itu, Umi juga dikenal sebagai ”orang pintar”(memiliki kekuatan supra natural) yakni melakukan peran sebagai da’i dengan pendekatan khusus,mendengarkan, menampung permasalahan seseorang dan membantunya mencarikan solusi pada orang yang membutuhkan. Melalui pembinaan kepada santrinya yang bernuansa bathiniyah,sufistik,bahkan metarasional pula memberikan panutan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Salah seorang murid Umi, ibu Sumi mengatakan bahwa ketika ia sedang mengalami permasalahan rumah tangga ia meminta Umi untuk memberikan jalan keluar kemudian Umi pun dengan penuh kasih sayang memberikan wejangan bahkan contoh konkret misalnya bagaimana caranya mendidik anak agar kelak menjadi generasi penerus yang sholeh dan sholehah. Umi dikenal di berbagai kalangan, dari para pejabat hingga anak-anak. Di kota Solo terdapat berbagai macam aliran Islam, dari yang moderat hingga yang begitu keras. Umi bersedia 24 jam untuk berdiskusi mengenai apapun.

Ketika Srint!l terlibat dalam satu kajian yang sebagian besar anggotanya menggunakan pakaian hitam atau putih tidak ada warna lain tiba- tiba salah satu ustadz yang memimpin kajian itu membacakan pesan singkat dari ponselnya yang berasal dari Umi yang isinya yakni:

“Bismillah..perlu dipahami diketahui diingatkan, tidak akan tahu akhlaq tinggi sebelum memahami, mengerti Al-Qur’an dan semua Al-Hadits, pahamkan sekarang! Mana mungkin hamba Allah tahu akan tauhid dan kebenaran kalau tidak menjajaki apa itu Al-Qur’an. Selama ini memang guru alihkan agar punya dulu rasa cinta pada Allah, guru selalu siap diajak buka kitab apapun”

Setelah itu semua anggota yang hadir menuliskan kembali apa yang dikatakan ustadz tersebut ke dalam catatan masing-masing kemudian mendiskusikan apa maksud dibalik pesan itu.

Pola interaksi antara Umi dengan ustadz, santri dan pengikutnya sangat unik. Apapun yang dikatakan Umi adalah kebenaran itu sendiri yang tak tersanggah. Jika berada dalam suatu majlis baik yang formal maupun informal bersamaan antara santri dengan Umi maka sangat jarang santri yang berani bertatapan wajah. Kesempatan untuk bertanya kepada Umi sebenarnya selalu terbuka tetapi adakalanya suatu pertanyaan nanti akan terjawab dengan sendirinya jika ”saatnya” tiba. Seolah sang guru tahu apa yang menjadi isi pikiran santrinya. Di mata santri-santrinya memang Umi diyakini memiliki daya basyiroh (kemampuan untuk melihat sesuatu yang ghaib dengan mata batin). Oleh karena daya supranaturalnya tersebut, Umi dapat mengobati orang yang sakit, baik sakit kejiwaan hingga orang yang menderita sakit fisik. Umi juga sering dimintai ”tolong” oleh banyak orang dengan berbagai kepentingan mereka.

 

 

Bersinggungan dengan Neosufisme

Dalam kiprahnya, tasawuf (baca: tarekat) tak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan kerohanian dan disiplin tinggi. Maka Fazlur Rahman (1984) menceritakan bahwa tasawuf  ini menanamkan rasa disiplin dan aktif dalam medan perjuangan hidup, baik sosial, politik, ekonomi. Gerakannya berada pada perjuangan dan pembaharuan. Programnya lebih berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial daripada “terkungkung”dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral, sosial dan keagamaan. Maka, Fazlur Rahman menamakannya sebagai neo sufisme.

Menurut Fazlurrahman, neosufisme adalah jenis tasawuf yang telah diperbaharui, di mana ciri dan kandungan asketik serta metafisisnya sudah diganti dengan kandungan dari dalil- dalil ortodoksi Islam. metode tasawuf baru ini menekankan dan memperbaharui factor moral asli dan control diri yang puritan dalam tasawuf. Gagasan dari neosufisme yaitu sufisme yang cenderung untuk menimbulkan aktivisme social dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Tokoh perintisnya adalah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Neosufisme tidak menolak epistemology kasyf yang dianggapnya sebagai derajat proses-proses yang bersifat intelektual dan mempergunakan seluruh terminology sufi yang esensial serta mencoba memasukkan ke dalam sufisme makna moral dan puritanical serta etos sosial. (Fazlur Rahman, 1984:284)

Profil pengamal neosufisme tidak semata-mata berakhir pada keshalehan individual melainkan berupaya untuk membangun kesalehan social bagi masyarakat di sekitarnya. Mereka tidak hanya bermaksud memburu surga untuk orang banyak dalam kehidupan social. Makna yang dapat diperoleh dari pemahaman ini adalah alternatif pengembagan tasawuf untuk menghayati keberadaa Tuhan menuju pada pengamalan perintah-Nya dalam pola tasawuf sosial.

Woman is a ray of GOD. She is not just the earthly beloved; she is creative, not created (Rumi)

Malam itu kala medio bulan Juli 2007 di Bandara soekarno hatta, pesawat emirates yang menerbangkan kami dari Dubai-Jakarta mendarat dengan sempurna. Para penumpang –termasuk saya- dan puluhan tenaga kerja wanita (TKW) bergegas mengurus segala administrasi dan tetek bengeknya sebelum keluar bandara. Menjelang pintu keluar seorang ibu setengah baya berseragam biru berjalan ke arah saya dan  menanyakan  mana paspor saya. Rasa curiga muncul ketika kawan saya yang tidak berjilbab tidak turut serta ditanyai. Hanya saya –yang berjilbab- dan puluhan para TKW yang saat itu menggunakan jilbab juga dipaksa mengeluarkan paspornya. Dengan tegas saya menolaknya, tetapi ibu itu tetap bersikeras hingga akhirnya ada rekan kerjanya yang nyeletuk..”bukan…dia pelajar”. Akhirnya ibu itu dengan cepat menghindari saya tanpa meminta maaf dan mencari ”mangsa” lainnya. Selidik punya selidik, ternyata pemandangan seperti itu sangat jamak terjadi di bandara kedatangan internasional Soetta. Dengan dalih melihat paspor kemudian para “oknum” petugas bandara menjebak para TKI/TKW untuk menukar uang (valas) hasil memeras keringatnya di Negara seberang dan kemudian di”sunat” tanpa tedeng aling-aling.  Mereka tidak berdaya ketika digiring dan diperas uangnya. Agaknya para oknum tersebut sangat kompak untuk mengerjai para TKI. Padahal saat itu kebanyakan TKW yang satu perjalanan dengan saya adalah TKW yang dideportasi karena bermasalah di Negara tempatnya mencari nafkah. Para TKW yang notabene dandanannya mencolok, berjilbab, berbaju ketat, memakai alas kaki high heels, terkadang rambutnya disemir a la bule dan tentengan beragam belanjaan oleh-oleh khas luar negeri,  akan dengan sangat mudah dikenali jika mereka para pahlawan devisa pun tanpa melihat langsung identitasnya. Bayangkan saja setiap hari sedikitnya 1.000 TKW datang. Para oknum rata-rata berhasil merampas, hanya 5 hingga 30 orang yang menjadi TKI bermasalah, berapa uang yang dibawa mereka. Mereka seperti ATM berjalan. Belum lagi “jebakan” di luar bandara seperti para supir jemputan tidak resmi yang akan dengan brutal memberi tarif tinggi para TKI yang ingin cepat-cepat sampai ke kampung halamannya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Dari sepenggal ceritera di atas dapat direfleksikan ke dalam tiga hal. Pertama, mengenai identitas jilbab merujuk pada tulisan Heru Prasetia[1] tentang jilbab men­deskripsikan politik identitas yang tidak bertolak pada spasial maupun teritorial. Jilbab mempunyai identitas global karena uru­tan historis dan geografis dengan asal-usul Islam di Jazirah Arab. Selain itu, Jilbab lebih dari sekadar cita rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial, menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran wanita, dan  lain-lain. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya. Pakaian itu sendiri mempunyai pemaknaan yang berubah-ubah sejalan dengan waktu dan ruang.Contoh sederhana, pakaian yang saya kenakan sewaktu di bandara yang menyebabkan ibu “oknum” menduga saya TKW pula. Dapat dikatakan bahwa stereotype perempuan yang berjilbab diidentikkan dengan TKW. Betapa oknum tersebut berlaku sangat diskriminatif. Kedua, mengenai perilaku konsumsi buruh perempuan berkiblat pada tulisan Yulianti Riswan[2] dimana Bu Carik, sebutan tokoh perempuan buruh migran dalam tulisan itu, diceriterakan se­bagai pembawa oleh-oleh uang dan pengetahuan ‘dari luar negeri’ sekembali ke desanya. Pengetahuan yang digambarkan itu me­liputi bervariasinya pengolahan menu makanan dan kosmetika ‘berkelas’ global. Tilly dan Scott (1987) mengatakan dua pem­belajaran yang signifikan dialami oleh perempuan kerja upahan adalah: (1) pembelajaran tentang bagaimana membelanjakan uang dan untuk membeli apa; (2) perhitungan atas alokasi upah yang diserahkan kepada keluarga sebagai aset.. Kebutuhan terhadap buruh perempuan yang meningkat, ditumpuk dengan persoalan pengangguran lelaki, involusi per­tanian, kemiskinan, dan seterusnya menggeser Desa Jangkaran yang semula menyediakan lahan pertanian produktif untuk ke­butuhan warganya bergeser sebagai desa penyedia buruh tenaga kerja murah yang siap dikirim ke luar negeri. Buruh-buruh perem­puan yang dikirim desa-desa senasib Jangkaran jumlahnya terus meningkat. Bahkan angka resmi dari departemen tenaga kerja dan departemen luar negeri, menyatakan bahwa jumlah pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri mencapai 6.732.942, den­gan pertumbuhan para pekerja baru ke luar negeri mencapai 4% pertahun. Para buruh perempuan ini ter­cerabut dari lokasinya (deteritorialisasi) dan terus mengambang dalam lintasan globalisasi. Ketiga, tidak adanya peran perlindungan oleh Negara yang cukup pada para buruh migran pada kasus kecil di pintu kedatangan internasional bandara Soetta (stateless). Fenomena kecil yang sangat merugikan dan terus berulang ini agaknya dibiarkan terjadi begitu saja tanpa ada penanganan yang serius oleh pemerintah, belum lagi persoalan lain seperti tindak kekerasan terhadap buruh migran perempuan oleh majikannya di Negara tujuan TKW yang mengakibatkan beberapa dari mereka bahkan hingga terenggut nyawanya atau kondisi cacat fisik maupun mental yang begitu memprihatinkan.

Dengan tanpa mengesampingkan tulisan lain yang ada dalam buku Identitas Perempuan Indonesia: Status, Pergeseran Gender dan Perjuangan Ekonomi Politik ini pada dasarnya -sepemahaman saya- semua tulisan memposisikan perempuan yang dikepung oleh konstalasi global, negara, masyarakat dan lingkup keluarga. Kedudukan ini mengakibatkan seorang perempuan harus memainkan peranan yang tidak gampang (multiroles). Mengamini pernyataan Ruth Indiah[3] perempuan, keluarga, kerja upahan, spasial, identitas, resistensi (politik identitas) merupakan kategori analisis yang terapung-apung dalam globalisasi dan demokrasi, dan menan­tang untuk dikaji ulang.


[1] Pakaian, Gaya, dan Identitas Perempuan Islam

 

[2] Bu Carik dan Pak Carik: Autonomy and The Creation of Fluid Patriarchy in Jangkaran, Kulon Progo, Yogyakarta

 

[3] Deteritorialisasi Keluarga dan Artikulasi identitas Perempuan

 

Sabtu, 20 November 2010
Posko terjauh yang kami tuju hari ini bertempat di balai desa Gantang, kecamatan Sawangan, kabupaten Magelang. 12 km dari puncak merapi. Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi abu tebal masih sangat mengakrabi lingkungan sekitar. Pepohonan begitu jamak ditemui dalm kondisi lunglai. Kurang lebih 26 KK atau 114 jiwa bernaung di balai desa Gantang yang luasnya sekitar 15×10 meter.

jalan menuju lokasi

Ketika kami datang jelang sore, ada puluhan anak tengah asyik bermain di halaman balai desa. Saat itu pula terdapat mobil puskesmas keliling dari kabupaten Sukoharjo Solo yang siap sedia menolong pengungsi yang sakit atau memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Tampak anak yang digendong ibunya membawa minyak telon pemberian petugas kesehatan sembari berujar,”bareng-bareng yo le…ojo rebutan sesuk dike’i meneh ”. Seorang nenek berusia 80 tahun-an berjalan tertatih membawa seplastik kecil obat entah jenis apa sembari mengeluh “awakku lagi ra kepenak tenan je”. Lebih dari 2 minggu mereka meninggalkan desanya yakni dusun Babadan yang berjarak 5 km dari puncak merapi. “rasane kok yo suwi tenan” ungkap ibu wanti yang mengaku menyempatkan diri bersama suaminya setiap pagi hari untuk tindak ngerumput ke asal desanya demi memberi makan hewan ternak sapi yang tinggal semata wayang. “sapi kulo jane ki loro, tapi sing setunggil mati kebrukan wit mergo kabotan awu”. Tatapan ibu yang mempunyai 2 anak itu kosong menerawang sembari menggigit bibirnya. Getir. Rumput pakan sapi di dapat dari ladang tempat sekitar pengungsian yang diberikan oleh penduduk setempat dengan kondisi berabu meski tak separah di dusun babadan dimana semua areal pertanian, perkebunan luluh lantak terkena bahan material muntahan merapi. Rumput tersebut harus dicuci terlebih dahulu agar sapi tidak mati. Selepas jam 10.00 pagi ibu wanti kembali ke lokasi pengungsian dengan mengendarai motornya. Seperti kondisi rumah para korban letusan merapi yang lainnya, rumah keluarga ibu wanti di desa Babadan sangat memperihatinkan. Abu tebal masih melekat kuat di setiap sendinya. Hingga kini aliran listrik dan air belum ada. Oleh karenanya mengungsi menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup.Beruntung warga sekitar di balai desa Gantang bahu membahu meringankan beban para pengungsi dengan mengirimkan logistik atau sekedar berbagi fasilitas kamar mandi di rumah-rumah warga, dimana wc umum sangat terbatas di balai desa. Dapur umum di kelola sendiri oleh ibu-ibu pengungsi. “hiburane ki yo mung masak mbak..ora ono liyane”. Seorang ibu muda, Nani yang berusia berkisar 20 tahun tak dapat berkata apa-apa ketika anaknya merengek ”bu..ayo tuku jajan ning warung kono”. Tentu saja kondisi keuangan para keluarga korban merapi menderita pailit secara bersamaan. Akibat dari lahan pertanian yang tidak lagi dapat digantungkan. Setiap hari para korban melambungkan harapan supaya gunung merapi tidak bergolak lagi. Meski hingga kini tidak ada kata pasti kapan mereka dapat hidup normal kembali.