Sabtu, 20 November 2010
Posko terjauh yang kami tuju hari ini bertempat di balai desa Gantang, kecamatan Sawangan, kabupaten Magelang. 12 km dari puncak merapi. Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi abu tebal masih sangat mengakrabi lingkungan sekitar. Pepohonan begitu jamak ditemui dalm kondisi lunglai. Kurang lebih 26 KK atau 114 jiwa bernaung di balai desa Gantang yang luasnya sekitar 15×10 meter.
Ketika kami datang jelang sore, ada puluhan anak tengah asyik bermain di halaman balai desa. Saat itu pula terdapat mobil puskesmas keliling dari kabupaten Sukoharjo Solo yang siap sedia menolong pengungsi yang sakit atau memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Tampak anak yang digendong ibunya membawa minyak telon pemberian petugas kesehatan sembari berujar,”bareng-bareng yo le…ojo rebutan sesuk dike’i meneh ”. Seorang nenek berusia 80 tahun-an berjalan tertatih membawa seplastik kecil obat entah jenis apa sembari mengeluh “awakku lagi ra kepenak tenan je”. Lebih dari 2 minggu mereka meninggalkan desanya yakni dusun Babadan yang berjarak 5 km dari puncak merapi. “rasane kok yo suwi tenan” ungkap ibu wanti yang mengaku menyempatkan diri bersama suaminya setiap pagi hari untuk tindak ngerumput ke asal desanya demi memberi makan hewan ternak sapi yang tinggal semata wayang. “sapi kulo jane ki loro, tapi sing setunggil mati kebrukan wit mergo kabotan awu”. Tatapan ibu yang mempunyai 2 anak itu kosong menerawang sembari menggigit bibirnya. Getir. Rumput pakan sapi di dapat dari ladang tempat sekitar pengungsian yang diberikan oleh penduduk setempat dengan kondisi berabu meski tak separah di dusun babadan dimana semua areal pertanian, perkebunan luluh lantak terkena bahan material muntahan merapi. Rumput tersebut harus dicuci terlebih dahulu agar sapi tidak mati. Selepas jam 10.00 pagi ibu wanti kembali ke lokasi pengungsian dengan mengendarai motornya. Seperti kondisi rumah para korban letusan merapi yang lainnya, rumah keluarga ibu wanti di desa Babadan sangat memperihatinkan. Abu tebal masih melekat kuat di setiap sendinya. Hingga kini aliran listrik dan air belum ada. Oleh karenanya mengungsi menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup.Beruntung warga sekitar di balai desa Gantang bahu membahu meringankan beban para pengungsi dengan mengirimkan logistik atau sekedar berbagi fasilitas kamar mandi di rumah-rumah warga, dimana wc umum sangat terbatas di balai desa. Dapur umum di kelola sendiri oleh ibu-ibu pengungsi. “hiburane ki yo mung masak mbak..ora ono liyane”. Seorang ibu muda, Nani yang berusia berkisar 20 tahun tak dapat berkata apa-apa ketika anaknya merengek ”bu..ayo tuku jajan ning warung kono”. Tentu saja kondisi keuangan para keluarga korban merapi menderita pailit secara bersamaan. Akibat dari lahan pertanian yang tidak lagi dapat digantungkan. Setiap hari para korban melambungkan harapan supaya gunung merapi tidak bergolak lagi. Meski hingga kini tidak ada kata pasti kapan mereka dapat hidup normal kembali.